Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk: kisah cinta yang romantis, sopan, dan cerdas

 Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk: kisah cinta yang romantis, sopan, dan cerdas





Biasanya saya akan kecewa apabila saya membaca cerita roman atau cinta (yang dahulu dari beberapa novel terjemahan) atau tersenyum-senyum malu dan terkadang risih dari novel-novel teenlit yang sering dijual di toko-toko buku. Hingga akhir tahun kelas tiga SMA, saya tidak menyukai cerita cinta, kecuali apabila ada unsur fantasinya seperti kisah cinta dalam cerita Golden Compass.


Namun kali ini saya dihadapkan kepada kisah cinta yang dikarang oleh soerang ulama besar di Indonesia, seorang sastrawan yang sudah diakui akan kepiawaiannya dalam menuturkan kata-kata. Buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” ini adalah yang kedua kalinya saya baca beberapa hari yang lalu. Pertama kali saya baca buku ini adalah saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, yang mana saya kira cerita ini akan menyajikan kisah penyelamatan korban dari kecelakaan kapal pesiar. Tapi saya kecewa karena ternyata ceritanya adalah sebuah kisah cinta yang penuh dengan kesedihan sehingga saya menghentikan membacanya di tengah-tengah buku. Barulah setelah menjadi mahasiswa, saya berusaha menamatkan membaca buku ini.


Buya Hamka, sastrawan dan ulama besar di Indonesia. Gambar diakses dari: http://musafir-rindu. blogspot.com/2009/11 /tenggelamnya-kapal-van-der-wijck.html

Hasilnya adalah: saya berani mengatakan bahwa kisah cinta Zainudin dan Hayati (tokoh dalam buku ini) adalah kisah cinta yang romantis, sopan, dan sangat cerdas penyampaiannya.

Tidak perlu lagi saya menceritakan tentang si pengarang, Buya Hamka, karena dia adalah seorang tokoh besar yang seharusnya pembaca tahu. Akan tetapi apabila tulisan saya ini kurang memuaskan, anda bisa melihat biografi dari Buya Hamka di google atau wikipedia.

Kisah cinta dalam buku ini bermula ketika Zainudin, yang lahir di kota Makassar, pergi ke kampung bapaknya, yaitu kota Padang, Sumatera Barat. Zainudin dianggap sebagai anak terbuang. Karena apabila dia berada di Makassar, dia tidak diakui karena bapaknya adalah seorang Minang. Begitu juga apaila dia berada di Sumatera Barat, dia tidak diakui karena ibunya adalah seorang asing dari Makassar. Di kampung halaman bapaknya itu, Zainudin bertemu dengan pujaan hati, Hayati. Akan tetapi cinta mereka tidak sampai ke pelaminan disebabkan oleh hambatan budaya. Zainudin tidak mendapat izin dari ninik-mamak untuk meminang Hayati, yang mana Hayati dinikahkan dengan Aziz. Zainudin yang patah hati kemudian diserang penyakit sangat lama. Setelah sembuh, ditemani oleh seorang sahabat, Muluk, mereka kemudian berangkat ke Jawa untuk mengadu nasib. Zainudin kemudian menjadi seorang penulis terkenal dengan letter “Z”. Dia menjadi orang sukses di Jawa dan membentuk “kelompok anak sumatera”. Kemudian, di Jawa itu, dia betemu lagi dengan hayati dan Aziz. Akan tetapi Zainudin telah menjadi orang yang baik budi sehingga dendam dan sakit hati nya telah hilang sama sekali.

Singkat cerita, Aziz, suami Hayati, mati bunuh diri (penasaran? Anda bisa baca ceritanya dalam buku ini). Kemudian menyerahkan dan mengamanahkan Hayati kepada Zainudin. Namun Zainudin tidak berpikiran demikian, dia malah mengirim pulang Hayati ke kampung halaman di Sumatera Barat dengan kapal Van Der Wicjk. Kuasa Allah, kapal mengalami kecelakaan. Zainudin yang sesungguhnya masih memiliki cinta kepada Hayati, merasa bersalah. Kemudian dia menysul Hayati ke tempat posko penyelamatan, dan ditemuinya Hayati dalam keadaan yang sangat sekarat. Namun mereka masih sempat bertatap muka dan saling meminta maaf akan kesetiaan cinta. Cinta Zainudin dan Hayati dipersatukan kembali, namun tidak diridhoi oleh takdir. Hayati meninggal dengan menyebut dua kalimat syahadat. Sepeninggal Hayati, Zainudin membuat karya terakhirnya, dan setelah itu dia terkena penyakit yang menyebabkan dia meninggal pula, yang mana dia dikuburkan di sebelah kuburan Hayati.

Kuatnya rasa cinta antara Zainudin dan Hayati dapt kita lihat dari surat-surat yang ditulis Zainudin untuk kekasihnya, dan surat balasan dari Hayati untuk lelaki pujaannya. Dan dalam cerita ini juga, Buya Hamka memberikan pemikirannya tentang filsafat cinta itu sendiri. Perbedaan paham antara wanita dan lelaki. Cinta yang dikisahkan oleh Buya Hamka dalam cerita ini adalah cinta sejati yang didasarkan pada ketakwaan kepada Allah. Zainudin mencintai Hayati karena Allah, begitu juga dengan Hayati. Penyampaian rasa dan sayang-menyayangti tidak secara vulgar atau secara romantis seperti novel-novel teenlit atau roman picisan lainnya, tetapi dengan sangat sopan dan penuh makna. Ini lah kisah cinta yang cerdas, yang menyajikan tragedi, tetapi tidak mengundang air mata, melainkan memicu pemahaman kita akan makna cinta itu sendiri.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam cerita ini adalah konflik budaya. Buya Hamka dengan cerdas mengemasnya dalam kisah cinta. Dia memadukan budaya Mengkasar dengan budaya dan adat-istiadat Minangkabau.

Kutipan di sampul belakang buku ini:

“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WICJK melukiskan suatu kisah cinta murni di antara sepasang remaka, yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa, yang patut dijadikan tamsil ibarat. Jalan ceritanya dilatarbelakangi dengan peraturan-peraturan adat pusaka yang kokoh kuat, dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum kerabat, dan berninik-mamak.”

Dan disini saya katakan bahwa apa yang tertulis pada kutipan di atas adalah benar.

Buku ini saya sarankan kepada remaja-remaja yang sedang memadu kasih. Juga saya sarankan kepada semua penikmat cerita cinta dan cerita sastra. Cerita dalam buku ini hanya satu kata: BAGUS!


Komentar